Bahasa Padang Asli Kampung Sungai Jambu

1) Enteang = Ringan
2) Egang = Tarik
3) Elo = Tarik
4) Eruk = Hirup
5) Engak = Bodoh
6) Entong = Ngaco
7) Ele = Lambat / Kurang Cakap
8) Endek = Pepet
9) Ensuk = Geser
10) Endan = Pepet
11) Eten = Itu
12) Egek = Ngeyel (karengkang)
13) Etong = Hitung
14) Etek = Bibi/Tante
15) Elok = Bagus
16) Enjek = Angkat
17) Engkek Engkek (ma-engkek engkek) = Buat perangai
18) Embe = Ember
19) Elieng   = Miring
20.Onge = Sombong
21.Pakak = tuli
22.Ansue = Geser


Silsila Suku Kampuang Sungai Jambu

Dalam khazanah kelarasan Koto Piliang dikenal lembaga-lembaga yang bernama Langgam Nan Tujuah, Rajo Tigo Selo dan Basa Ampek Balai. Lembaga-lembaga ini sudah ada sejak kelarasan Koto Piliang didirikan, berlanjut sampai masa pemerintahan Pagaruyung dan diteruskan sampai saat ini. Pada masa pemerintahan Kerajaan Pagaruyung, kelarasan Koto Piliang tampak mendominasi struktur dan gaya pemerintahan Kerajaan Pagaruyung yang aristokratis sesuai nilai-nilai dan falsafah yang dianut kerajaan-kerajaan Jawa. Nilai nilai feodal, sentralistik, otokratis dan aristokratis ini dibawa oleh Adityawarman yang kemudian dirajakan sebagai salah satu anggota Rajo Tigo Selo. Kelarasan Koto Piliang yang didirikan oleh Datuk Katumanggunganini memang berpandangan bahwa lembaga raja dalam hal ini Rajo Tigo Selo sangat dihormati. Kedudukan raja berada diatas segalanya menurut adat Koto Piliang.

Oleh sebab itu di daerah rantau yang rajanya (raja-raja kecil) ditunjuk langsung oleh Pagaruyung sebagai perwakilan disana, aturan dan madzhab ketatanegaraan Koto Piliang sangat mendominasi. Sebagai contoh adalah di Rantau Pasaman, nagari-nagari seperti Talu, Pasaman, Lubuk Sikaping, Rao , Cubadak dan Kinali diperintah oleh raja-raja kecil dengan sistem kelarasan Koto Piliang, dimana pergantian kepemimpinan dilakukan secara turun temurun layaknya sistem monarki kerajaan. Berikut adalah raja-raja kecil yang memerintah di nagari-nagari tersebut:

Daulat Parik Batu di PasamanTuanku Bosa di TaluRajo Bosa di Sundatar Lubuk SikapingTuanku Rajo Sontang di CubadakDaulat Yang dipertuan di KinaliYang Dipertuan Padang Nunang di Rao

Berbeda halnya dengan kelarasan Koto Piliang yang mendudukkan raja di atas segalanya, kelarasan Bodi Caniago memposisikan raja dan lembaga raja hanya sebagai simbol pemersatu. Akibatnya walaupun kelarasan ini memiliki 7 daerah istimewa beserta pemimpin-pemimpinnya, tidak ada bagian struktur kelarasan ini yang menyatu secara struktural dengan pemerintahan Kerajaan Pagaruyung. Daerah-daerah penganut kelarasan Bodi Caniago tersebar di Luhak Agam,  Luhak Limopuluah, Solok dan sebagian kecil nagari di Luhak Tanah Datar (ex: Tanjung Sungayang). Daerah-daerah ini menganut kultur egaliterian dan anti sentralisme kekuasaan. Terbukti sebagian daerah-daerah di wilayah ini menjadi pendukung gerakan PRRI tahun 1957-1960 sebagai reaksi atas kebijakan sentralistik dari pusat kekuasaan di Jawa. Daerah-daerah wilayah ini pula yang paling bersemangat untuk kembali ke sistem pemerintahan nagari setelah periode reformasi.

Dinamika Langgam Nan Tujuah, Rajo Tigo Selo dan Basa Ampek Balai

Pada awalnya Langgam Nan Tujuahberanggotakan sebagai berikut:

Pamuncak Koto Piliang (Pemimpin Langgam Nan Tujuah) berkedudukan di Sungai Tarab Salapan BatuaPerdamaian Koto Piliang (Juru Damai Sengketa antar Nagari) berkedudukan di Simawang Bukik KanduangPasak Kungkuang Koto Piliang (Keamanan Dalam Negeri) berkedudukan di Sungai Jambu Lubuak AtanHarimau Campo Koto Piliang (Panglima Perang) berkedudukan di Batipuah Sapuluah KotoCamin Taruih Koto Piliang (Badan Penyelidik) berkedudukan di Singkarak Saniang BakaCumati Koto Piliang (Pelaksana Hukum) berkedudukan di Tanjung Balik  Sulik AiaGajah Tongga Koto Piliang (Benteng Selatan) berkedudukan di Silungkang Padang Sibusuak

Rajo Tigo Selo

Rajo Tigo Selo merupakan sebuah institusi tertinggi yang disebut Limbago Rajo, masing-masing terdiri dari Raja Alam, Raja Adat dan Raja Ibadat yang berasal dari satu keturunan. Ketiga raja dalam berbagai tulisan tentang kerajaan Melayu Minangkabau ditafsirkan sebagai satu orang raja.

Raja Adat mempunyai tugas untuk memutuskan hal-hal berkaitan dengan masalah peradatan, dan Raja Ibadat untuk memutuskan hal-hal yang menyangkut keagamaan.  Pada awalnya institusi untuk Raja Alam dan Raja Adat disebut sebagai Rajo Duo Selo, namun setelah agama Islam masuk ke Minangkabau diangkatlah Raja Ibadat.

Rajo Tigo Selo Pada Masa Pagaruyung

Pada masa pemerintahan Pagaruyung terdapat tiga istana untuk ketiga Raja yaitu :

Istana Ateh Ujuang di Balai Janggo tempat bersemayam Raja AdatIstana Balai Rabaa di Gudam tempat bersemayam Raja AlamIstana Ekor Rumpuik di Kampuang Tangah tempat bersemayam Raja  Ibadat

akan tetapi

Raja Alam berkedudukan di PagaruyuangRaja Adat berkedudukan di BuoRaja Ibadat berkedudukan di Sumpur Kudus

Basa Ampek Balai

Dalam struktur pemerintahan kerajaan Pagaruyung Rajo Tigo Selo  dibantu oleh dewan menteri sejumlah empat orang yang disebut Basa Ampek Balai yang mempunyai tugas dan kewenangan-kewenangan dan tempat kedudukan atau wilayah sendiri pada nagari-nagari yang berada di sekeliling pusat kerajaan Pagaruyung. Pada awalnya Basa Ampek Balai beranggotakan sebagai berikut:

Tuan Gadang di Batipuah, Harimau Campo Koto PiliangDatuak Bandaro Putiah di Sungai Tarab, Pamuncak Alam Koto PiliangMachudum di Sumaniak, Aluang Bunian Koto PiliangIndomo di Saruaso, Payuang Panji Koto Piliang

Setelah kuatnya agama Islam maka dirasa perlu untuk menambahkan pemimpin di bidang agama. Oleh karena itu struktur Basa Ampek Balai berubah menjadi :

Datuak Bandaro Putiah di Sungai Tarab, Pamuncak Alam Koto PiliangMachudum di Sumaniak, Aluang Bunian Koto PiliangIndomo di Saruaso, Payuang Panji Koto PiliangTuan Kadi di Padang Gantiang, Suluah Bendang Koto Piliang

Pada awalnya Tuan Gadang di Batipuah berdiri sendiri, namun kemudian menjadi bagian dari Basa Ampek Balai. Setelah Tuan Kadi menjadi anggota Basa Ampek Balai, Tuan Gadang kembali keluar dari struktur namun tetap memiliki kedudukan yang tinggi dalam struktur pemerintahan Pagaruyung. Ini disebabkan karena Tuan Gadang membawahi Nagari Batipuh yang merupakan nagari raksasa pada zaman itu, yang luas wilayahnya puluhan kali lipat dari nagari-nagari sekitar. Bahkan diantara orang-orang besar itu, hanya Tuan Gadang Batipuah yang berhak berdiri di hadapan Raja Alam.

Dalam hal pewarisan gelar dan jabatan, waris Raja turun kepada anaknya sedangkan waris  Tuan Gadang, Basa Ampek  Balai dan Langgam Nan Tujuah turun kepada kemenakan.

Sumber:

Pengetahuan Umum dan Kompilasi dari Berbagai Tambo

Sebagaimana suku-suku lainnya di Nusantara terutama Suku Batak, Suku Mandailing, Suku Nias dan Suku Tionghoa, Suku Minang juga terdiri atas banyak marga atau klan tapi menganut sistem matrilineal, yang artinya marga tersebut diwariskan menurut ibu. Di Minangkabau marga tersebut lazim dikenal sebagai ‘suku’. Pada awal pembentukan budaya Minangkabau oleh Datuk Ketumanggungan dan Datuk Perpatih Nan Sebatang, hanya ada empat suku induk dari dua kelarasan. Suku-suku tersebut adalah:

Suku KotoSuku PiliangSuku BodiSuku Caniago

Dan jika melihat dari asal kata dari nama-nama suku induk tersebut, dapat dikatakan kata-kata tersebut berasal dari Bahasa Sansekerta, sebagai contoh koto berasal dari kata kotto yang berarti benteng atau kubu, piliang berasal dari dua kata pele (baca : pili) dan hyang yang digabung berarti banyak dewa. sedangkan bodi berasal dari katabodhi yang berarti orang yang terbangun atau tercerahkan, dan caniago berasal dari dua kata cha(ra)na dan niaga yang berartiperjalanan anak dagang.

Demikian juga untuk suku-suku awal selain suku induk, nama-nama suku tersebut tentu berasal dari bahasa sansekerta dengan pengaruh agama Hindu dan Buddha yang berkembang disaat itu. Sedangkan perkembangan berikutnya nama-nama suku yang ada berubah pengucapannya karena perkembangan bahasa minang itu sendiri dan pengaruh dari agama Islam dan pendatang-pendatang asing yang menetap di Kerajaaan Pagaruyung.

Sekarang suku-suku dalam Minangkabau berkembang terus dan sudah mencapai ratusan suku, yang terkadang sudah sulit untuk mencari hubungannya dengan suku induk. Di antara suku-suku tersebut adalah:

Suku PayobadaSuku PitopangSuku TanjungSuku SikumbangSuku GuciSuku PanaiSuku JambakSuku PanyalaiSuku KampaiSuku BendangSuku MalayuSuku KutianyieSuku MandailiangSuku SipisangSuku MandalikoSuku SumagekSuku DalimoSuku SimabuaSuku SaloSuku SingkuangSuku Rajo Dani

Sedangkan orang Minang di Negeri Sembilan, Malaysia, membentuk 13 suku baru yang berbeda dengan suku asalnya di Minangkabau, yaitu:

Suku Biduanda (Dondo)Suku Batu Hampar (Tompar)Suku Paya Kumbuh (Payo Kumboh)Suku MungkalSuku Tiga NenekSuku Seri Melenggang (Somolenggang)Suku Seri Lemak (Solomak)Suku Batu BelangSuku Tanah DatarSuku Anak AchehSuku Anak MelakaSuku Tiga Batu

Rumah gadang suku

Berikut keterangan tentang suku-suku tersebut:

1. Suku Koto

Suku koto merupakan satu dari dua klan induk dalam suku Minangkabau. Suku minangkanbau memiliki dua klan (suku dalam bahasa orang minang) yaitu Klan/suku Koto Piliang dan Klan/suku Bodi Chaniago

Asal Usul Suku Koto

A. A. Navis dalam bukunya berjudul Alam Terkembang Jadi Guru menyatakan bahwa nama suku Koto berasal dari kata ‘koto’ yang berasal dari bahasa Sanskerta ‘kotta’ yang artinya benteng, dimana dahulu benteng ini terbuat dari bambu. di dalam benteng ini terdapat pula pemukiman beberapa warga yang kemudian menjadi sebuah ‘koto’ yang juga berarti kota, dalam bahasa Batak disebut “hutaâ” yang artinya kampung. Dahulu Suku Koto merupakan satu kesatuan dengan Suku Piliang tapi karena perkembangan populasinya maka paduan suku ini dimekarkan menjadi dua suku yaitu suku Koto dan suku Piliang. Suku Koto dipimpin oleh Datuk Ketumanggungan yang memiliki aliran Aristokratis Militeris, dimana falsafah suku Koto Piliang ini adalah “Manitiak dari Ateh, Tabasuik dari bawah, batanggo naiak bajanjang turun Datuk Ketumanggungan gadang dek digadangan Besar karena diagungkan oleh orang banyak),sedangkan Datuk Perpatih Nan Sebatang tagak samo tinggi,  duduak samo randah Suku K

Gelar Datuk Suku Koto

Diantara gelar datuk Suku Koto adalah :

Datuk Tumangguang, gelar ini diberikan kepada Ir. Tifatul Sembiring oleh warga suku Koto Kanagarian Guguak-Tabek Sarojo, BukittinggiDatuk Bandaro Kali, gelar ini pernah akan dinobatkan kepada Mentri Pariwisata Malaysia, Dr.Yatim|RaisYatim yang berdarah Minang tapi beliau menolaknya lantaran akan sulit baginya untuk terlibat dalam kegiatan suku Koto nagari Sipisang setelah beliau dinobatkan.Datuk Sangguno DirajoDatuk Panji Alam Khalifatullah, gelar ini dinobatkan kepada Taufik Ismail karena beliau seorang tokoh berdarah Minangkabau suku Koto yang telah mempunyai prestasi di bidang seni dan kebudayaan.Datuk Patih Karsani

Pemekaran

Suku ini mengalami pemekaran menjadi beberapa pecahan suku yaitu:

Tanjung KotoKoto Piliang di nagari Kacang, SolokKoto Dalimo,Koto Diateh,Koto Kaciak,Koto Kaciak 4 Paruaik di Solok Selatankoto Tigo Ibu di Solok SelatanKoto Kampuang,Koto Kerambil,Koto Sipanjangkoto sungai guruah di Nagari Pandai Sikek (Tanah Data)koto gantiang di Nagari Pandai Sikek (Tanah Data)koto tibalai di Nagari Pandai Sikek (Tanah Data)koto limo paruik di Nagari Pandai Sikek (Tanah Data)koto rumah tinggi di nagari Kamang Hilir (Agam)koto rumah gadang, di nagari Kamang Hilir (Agam)kotosariak, di nagari Kamang Hilir (Agam)koto kepoh, di nagari Kamang Hilir (Agam)koto tibarau, di nagari Kamang Hilir (Agam)koto tan kamang/koto nan batigo di nagari Kamang Hilir (Agam)Koto Tuo di Kenegerian Paranap, Inderagiri Hulukoto Baru di Kenegerian Paranap, Inderagiri Hulu

2. Suku Piliang

Suku Piliang adalah salah satu suku (marga) yang terdapat dalam kelompok suku Minangkabau. Suku ini merupakan salah satu suku induk yang berkerabat dengan suku Koto membentuk Adat Ketumanggungan yang juga terkenal dengan Lareh Koto Piliang.

Etimologi

Menurut AA Navis, kata Piliang terbentuk dari dua kata yaitu ‘Pele’ artinya ‘banyak’ dan ‘Hyang’ artinya ‘Dewa atau Tuhan’.[1] jadi Pelehyang artinya adalah banyak dewa. Ini menunjukkan bahwa di masa lampau, suku Piliang adalah suku pemuja banyak dewa, yang barangkali mirip dengan kepercayaan Hindu.

Pemekaran

Suku ini mengalami pemekaran menjadi beberapa pecahan suku yaitu:

Piliang Guci (Guci Piliang di nagari Koto Gadang, Agam)Pili di Nagari Talang, Sungai Puar (Agam)Koto Piliang di nagari Kacang, Solok dan Lubuk Jambi, Kuantan Mudik, RiauPiliang Laweh (Piliang Lowe) di ([[Kuantan Singingi))Piliang Sani (Piliang Soni) di Kuantan Singingi, Riau dan nagari Singkarak, SolokPiliang BaruahPiliang Bongsu,Piliang Cocoh,Piliang Dalam,Piliang Koto,Piliang Koto Kaciak,Piliang Patar,Piliang SatiPiliang Batu Karang di nagari Singkarak, SolokPiliang Guguak di nagari Singkarak, SolokPiliang Atas (Kuantan Singingi))Piliang Bawah (Kuantan Singingi))Piliang Godang (Piliang Besar)Piliang Kaciak (kecil)

Persebaran

Suku ini banyak menyebar ke berbagai wilayah Minangkabau yaitu Tanah Datar, Agam, Lima Puluh Kota, Solok, Riau,Padang dan beberapa daerah lainnya.

Dari beberapa sumber, diketahui tidak terdapat suku ini di Pesisir Selatan dan Solok Selatan.

Kerabat

Di bawah payung suku Koto-Piliang, terdapat banyak suku lain yang bernaung, diantaranya adalah :

suku Tanjungsuku GuciSuku SikumbangSuku MalayuSuku KampaiSuku PanaiSuku Bendang

Suku Piliang berdatuk kepada Datuk Ketumanggungan di zaman Adityawarman.

3. Suku Bodi

Suku Bodi adalah salah satu suku (marga) dalam kelompok etnis Minangkabau yang juga merupakan sekutu Suku CaniagoAdat Perpatih atau Lareh Bodi Caniago. Kelarasan Bodi-Caniago ini didirikan oleh Datuk Perpatih Nan Sebatang. membentuk

Etimologi

Bodi berasal dari kata Budi atau pohon Bodhi, sebuah pohon yang sering dijadikan oleh pertapa Buddhist. Konon dulu suku ini adalah penganut Buddhisme yang taat termasuk Datuk Perpatih Nan Sebatang sendiri. suku ini sudah menempati wilayah Minangkabau jauh sebelumnya datangnya agama Islam. Bahkan dapat dikatakan bahwa suku ini termasuk pendiri adat Minangkabau atau suku nenek moyang orang Minangkabau.

Suku Bodi dan suku Caniago tidak banyak melakukan pemekaran suku sebagaimana suku lainnya yaitu Suku Melayu, Suku Tanjung, Suku Koto dan lainnya. Suku ini terkenal kompak, barangkali disebabkan faktor adat Perpatih yang mereka anut.

Penghulu Adat

Diantara gelar datuk suku Bodi adalah Datuk Sinaro Nan Bandak

Pemekaran

Suku Bodi di daerah lain ada yang disebut dengan Suku Budi Caniago atau Suku Bodi Caniago, misalnya di Kenegerian Lubuk Jambi, Kuantan Mudik, Riau.

Persebaran

Suku ini tidak banyak tersebar di wilayah Minangkabau yang lain seperti halnya saudara dekatnya sendiri yaitu Suku Caniago, Suku Koto dan Suku Piliang. Suku ini kebanyakan terdapat di Kabupaten Tanah Datar.

4. Suku Caniago

Suku Caniago adalah suku asal yang dibawa oleh Datuk Perpatih Nan Sebatang yang merupakan salah satu induk suku di Minangkabau selain suku Piliang. Suku Caniago memiliki falsafah hidup demokratis, yaitu dengan menjunjung tinggi falsafah “bulek aia dek pambuluah, bulek kato dek mufakat. Nan bulek samo digolongkan, nan picak samo dilayangkan” artinya: “Bulat air karena pembuluh, bulat kata karena mufakat”. Dengan demikian pada masyarakat suku caniago semua keputusan yang akan diambil untuk suatu kepentingan harus melalui suatu proses musyawarah untuk mufakat.

Falsafah tersebut tercermin pula pada bentuk arsitektur rumah adat bodi Caniago yang ditandai dengan tidak terdapatnya anjuang pada kedua sisi bangunan Rumah Gadang. Hal tersebut menandakan bahwa tingkat kasta seseorang tidak membuat perbedaan perlakuan antara yang tinggi dengan yang rendah. Hal yang membedakan tinggi rendahnya seseorang pada masyarakat suku Caniago hanyalah dinilai dari besar tanggung jawab yang dipikul oleh orang tersebut.[rujukan?]

Salah satu falsafah lain untuk mencari kata kesepakatan dalam mengambil keputusan pada suku caniago adalah “aia mambasuik dari bumi� artinya suara yang harus didengarkan adalah suara yang datang dari bawah atau suara itu adalah suara rakyat kecil, baru kemudian dirembukkan dalam sidang musyawarah untuk mendapatkan sebuah kata mufakat barulah pimpinan tertinggi baik raja maupun penghulu yang menetapkan keputusan tersebut.[rujukan?]

Gelar Datuk Suku Caniago

Diantara gelar datuk suku ini adalah :

Datuk Rajo PenghuluDatuak Manindiang AlamDatuk Bandaro SatiDatuk Rajo AlamDatuk KayoDatuk Paduko JaleloDatuk Rajo PerakDatuk Paduko AmatDatuk SaripadoMarajo

5.  Suku Tanjung

Suku Tanjung merupakan subsuku dari Suku Minangkabau yang tergolong banyak perkembangan populasinya. Suku ini tersebar hampir di seluruh wilayah Minangkabau dan perantauannya.

Asal-usul

Ada yang mengatakan suku ini awalnya orang-orang yang dulunya hidup sebagai nelayan di ujung-ujung daratan yang menjorok ke laut yang disebut tanjung. Jadi mereka ini sebenarnya orang pesisir atau orang laut, bukan orang pedalaman. Awalnya kehidupan mereka sangat tergantung pada laut.

Persebaran suku Tanjung

Suku Tanjung banyak menyebar nagari Batipuh (Tanah Datar), Kurai Limo Jorong (Agam), Ampek Angek (Agam), Talang Sungai Puar (Agam), Maninjau, Singkarak (Solok), Koto Gaek dan Aie Batumbuk (Solok), Air Bangis dan Talu (Pasaman), Pauh IX (Padang), Padang Pariaman, Bayang dan Tarusan (Pesisir Selatan), dan beberapa nagari lain di Sumatera Barat, Riau, Jambi, Bengkulu, dan perantauan orang Minang.

Pemekaran suku Tanjung

Suku ini mengalami pemekaran menjadi beberapa pecahan suku yaitu:

Tanjung Pisang (Tanjung Sipisang)Tanjung SimabuaTanjung GuciTanjung Kaciak (Tanjung Ketek)Tanjung SikumbangTanjung KotoTanjung GadangTanjung PayobadaTanjung Sumpadang (Tanjung Supadang)Tanjung BatingkahPanai Tanjung

Sekutu suku Tanjung

Suku Tanjung termasuk ke dalam Lareh Koto Piliang. Sekutu suku Tanjung adalah:

Suku Guci (sebagian ada yang mengatakan dekat ke Suku Melayu misalnya di Pauh,Padang)Suku SikumbangSuku KotoSuku PiliangSuku Sipisang

Gelar datuk suku Tanjung

Gelar datuk bagi suku Tanjung :

Datuk Tan DilangitDatuk TalangikDatuk Rajo IntanDatuk Rajo AmehDatuk Rajo IndoDatuk GamuakDatuk Rajo Bandaro BasaDatuk Kayo

Tokoh yang berasal Suku Tanjung

Prof. DR.Irwan Prayitno Psi, MSc, anggotaDPRRIperiode 2004 – 2009 dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, bergelar Datuk Rajo Bandaro Basa. Pernah menjadi calon Gubernur Sumatera Barat, bersaing dengan Gamawan FauziSyeikh Muhammad Amrullah Tuanku Abdullah Saleh, kakek Buya Hamka

Hubungan suku Tanjung Minangkabau dengan marga Tanjung Batak

Suku Tanjung bersama Suku Malayu dan Suku Mandailiang mempunyai kemiripan nama dengan marga Tanjung, Etnis Melayu dan marga Mandailing di luar Minangkabau. Apakah ketiga suku ini mempunyai kaitan sejarah di masa lampau, ini membutuhkan penelitian lebih lanjut

Suku Guciadalah salah satu di Minangkabau yang berafiliasi dalam Lareh Koto Piliang yaitu merapat ke suku Tanjung.

Asal usul

Besar kemungkinan nama suku ini diambilkan dari produk warga suku ini di masa lampau yaitu produk yang terbuat dari tembikar atau tanah liat yang disebut guci. Selain itu kemungkinan kedua adalah mereka bisa jadi peniaga atau pemasok ragam guci dari daratan Tiongkok.

Persebaran Suku Guci

Suku Guci banyak tersebar di seluruh wilayah Minangkabau diantaranya di nagari Batipuh (Tanah Datar), Kurai 5 Jorong, Pandai Sikek dan Ampek Angkek (Agam), Koto Gadang dan beberapa nagari lainnya.

Sekutu suku Guci

Suku Guci di berbagai daerah bergabung dengan suku-suku yang berbeda-beda. Di daerah Kecamatan Bayang, Pesisir Selatan, suku Guci serumpun dengan suku Tanjung. Tapi di Pauh, Padang, suku Guci serumpun dengan Suku Melayu. Begitu pula di kecamatan Empat Koto, Agam, suku Guci disebut pula sebagai suku Guci Piliang, yang berarti suku ini telah merapat pula ke Suku Piliang, di Nagari Kuraitaji Kecamatan Nan Sabaris Kabupaten Padang Pariaman & Kecamatan Pariaman Selatan Kota Pariaman, suku Guci merupakan kelompok masyarakat yang berasal dari suku Piliang yang menetap di Nagari Kuraitaji karena di nagari ini tidak ada suku Piliang

Gelar Datuk Suku Guci

Diantara gelar suku Guci adalah :

Datuk Tan DilangitDatuk Bandaro GamuakDatuk Rajo GandanDatuk CumanoDatuk Bandaro PanjangDatuk TumbaliakDatuk MaharajoDatuk BandaroDatuk Mangkhudun atau Datuk MakhudumDatuk Majo Nan SatiDatuk Subaliak LangikDatuk KuniangDatuk Rang Kayo Nan GadangDatuk Bagindo Alat CumanoDatuk BandarikanDatuk TanpalawanDatuk Bagindo Cumano

Penghulu agama Suku Guci

Penghulu agamanya bergelar Imam Marajo atau Imam Maharajo. Sedangkan malinnya adalah Malin Marajo.

Tokoh

Tokoh yang tercatat berasal dari suku Guci adalah :

Syeikh Burhanuddin, seorang ulama pertama yang menyebarkan agama Islam ke Sumatera Barat,murid Syekh Abdurrauf Singkel di Aceh.

7. Suku Sikumbang

Suku Sikumbang termasuk suku yang banyak berkembang diantara suku-suku Minangkabau. Warga suku ini menyebar di berbagai wilayah Minangkabau baik di luhak, rantau ataupun di perantauan.

Asal-usul Suku Sikumbang

Ada beberapa kata yang terkait dengan asal usul nama suku Sikumbang yaitu kata kumbang. Kumbang bisa berarti sejenis serangga, atau sebuah nama untuk hewan pemburu misalnya anjing. seekor anjing peburu dinamakan kumbang biasanya kalau anjing tersebut berbulu hitam seluruh tubuhnya. Anjing ‘kumbang’ sangat terkenal di zaman dulu di ranah Minangkabau. Bahkan Sutan Balun yang kemudian bergelar Datuk Perpatih Nan Sebatang diceritakan oleh Gus tf Sakai dalam novelnya yang berjudul Tambo Sebuah Pertemuan memiliki seekor anjing yang bernama ‘Kumbang’, yang pernah menimbulkan masalah hukum di istana Pagaruyung lantara gigitan ’si Kumbang’ terhadap seorang pengawal Istana.

Jadi besar kemungkinan dahulu suku Sikumbang adalah orang-orang yang suka berburu dengan menggunankan anjing dan anjing mereka yang terkenal adalah ’si Kumbang’ yang kemudian menjadi nama suku mereka.

Sekutu Suku Sikumbang

Suku Sikumbang bersekutu dengan suku-suku lain di Minangkabau terutama Suku Tanjung, Suku Koto, Suku Piliang dan suku lainnya.

Gelar Datuk Suku Sikumbang

Diantara gelar datuk suku ini adalah :

Datuk BandaroDatuk Basa BatuahDatuk Rajo Api

SUNGAI JAMBU ASAL NENEK MOYANG MINANGKABAU



SUNGAI JAMBU NAGARI ASAL NENEK MOYANG MINANGKABAU
Bercerita mengenai sejarah, tentu saja memutar kembali ingatan kita mengenai masa lalu, masa yang mana adat istiadat dimulai dan diukir untuk dijadikan pedoman, untuk anak-keponakan di masa yang akan datang. Pengetahuan mengenai peristiwa di masa lalu akan memberi kita pedoman dan pelajaran untuk yang akan kita lakukan di masa depan. Sejarah yang akan dikupas dalam tulisan ini adalah nama Nagari Sungai Jambu, Kecamatan Pariangan, Kabupaten Tanah Datar. Jika mendengar kata Pariangan tentu tidak asing bagi kita sebagai penerus alam minangkabau, karena dalam sejarahnya “Pariangan” adalah Nagari Tuo, di alam Minangkabau ini ada empat versi Nagari Tuo, Sungai Tarab, Limo Kaum dan Pagaruyuang Disini akan dijelaskan sejarah Minangkabau dari Jorong Batur, Nagari Sungai Jambu, pusek jalo adat Minangkabau.

Nagari Sungai Jambu yang memiliki empat jorong, Jorong Batur, Jorong Bulan Sariak Jambak Ulu, Jorong Labuatan dan Jorong Sungai Jambu. Berawal dari Jorong Batur, kata Batur berasal dari bahasa Minang, yaitu ba atur (diatur), tempat pertama kalinya adat Minangkabau diukir Oleh Datuak Katamanggungan dan Datuak Parpatiah Nan Sabatang. Adat yang telah dilukiskan kemudian diperkenalkan kepada masyarakat di Jambak Ulu, Jambak Ulu dalam bahasa minang berarti baliekan dulu (diperlihatkan terlebih dahulu). Perjalanan adat minangkabau dilanjutkan ke Bulan Sariak. Disinilah kata mufakat muncul mengenai adat minangkabau, pepatah minang mengatakan “bulek aia dek pambuluah, bulek kato dek mufakaik, lah janiah aia dalam tabek, disitu ikan mako tampek lah sudah rundiang baru dimulai bakarajo”

Datuak Maharjo Dirajo nan turun dari Gunuang Marapi, turun dari bukik Siguntang-Guntang, taruih ka Galundi Nan Baselo, baranti datuak di situ, nan dibawo kuciang siam, harimau campo, kambiang hutan. Malintang ka tapi Gunuang Marapi, taruih ka Kuok ka Bangkinang arah di ranah Labuatan. Dek indak tatahan dingin dilapeh pandang ka kiri kanan, takilek candonyo api, tapanca candonyo asok, arah ka Padang Panjang Pariangan. Perjalanan adat di nagari Sungai Jambu kemudian dilanjutkan ke nagari Pariangan, tepatnya di jorong Padang Panjang seperti yang tertuang dalam kata-kata di atas. Dikalilah sumua, didirikan balerong panjang, nan batonggak lareh jo latang, nan barasuak sipuluik-puluik, nan panggotang jangek umo, tampek mandirikan adat marungguahkan pusako, mandirikan luhak nan tigo. Nan pertamo luhak Tanah Datar, luhak Limo Puluah Kota, nan katigo luhak Agam. Dibagi lareh nan duo, pertamo lareh Koto Piliang, nan kaduo lareh Bodi Caniago . Lareh Bodi Caniago dipacik Datuak Perpatih Nan Sabatang, mamacik lubuak nan tigo sarato tanjuang nan tigo. Nan pertamo Tanjuang Alam, kaduo Tanjuang Talawi, katigo Tanjuang Sungayang. Lubuak nan tigo nan pertamo Lubuak Sikarah, kaduo Lubuak Sipungai, katigo Lubuak Simawwi.

Adapun  Bodi Koto Piliang, mamacik lareh nan tujuah. Nan pertamo Sungai Tarab pamuncak alam koto piliang, nan kaduo Sungai Jambu pasak kungkuang koto piliang, nan katigo Silungkang gajah tongga koto piliang, nan ka ampek Batipuah harimau koto piliang, nan kalimo Singkarak Jo Sandiangbaka caramin koto piliang, nan ka anam Suliak Aie Jo Tanjuang Baliak cumati koto piliang, nan ka tujuah Si Mawang parmedaman koto piliang.

Yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana dalam sejarah Minangkabau tidak menyebutkan bahwa asal mula adat Minangkabau dari Batur, Sungai Jambu. Mengapa? Karena pada tahun 1975 diadakan seminar nasional mengenai adat istiadat Minangkabau di Batusangkar, dan niniak mamak dari Sungai Jambu tidak berkesempatan hadir dalam seminar itu, sehingga dalam hasil seminar tidak disebutkan bahwa asal Minagkabau adalah dari Batur, Sungai Jambu.

Yano Kenzo Gubernur Sumatra Barat saat penjajahan Jepang

Add caption 
"Gubernur Sumatera Barat" ja dalam balutan busana tradisional Minangkabau.
Pemerintahan sipil Sumatera Barat baru efektif berjalan setelah kedatangan ja ke Sumatera Barat pada 9 Agustus 1942 sebagai Residen Sumatera Barat. Sebelum bertugas di Sumatera Barat, Yano pernah menjabat sebagai Gubernur Prefektur Toyama.[4] Gusti Asnan mencatat Yano berperan besar dalam mewujudkan kerja sama yang baik antara rakyat Sumatera Barat dengan pihak Jepang.[12] Yano banyak menentang kebijakan Komando Tentara ke-25, tetapi tetap menjaga hubungan persahabatan dengan Panglima Tentara ke-25 Tanabe di Bukittinggi. Simpatinya pada aspirasi rakyat setempat untuk merdeka dan kekecewaannya terhadap kebijakan pemerintah yang tidak sesuai dengan pandangannya ia kemukakan dalam sebuah artikel yang ditulisnya kelak pada 1967.[13]
Sebagai pemimpin sipil, Yano Kenzo melakukan pendekatan terhadap penduduk Minangkabau melalui kebudayaan. Ia memiliki minat pada alam, masyarakat, dan adat-istiadat Minangkabau yang menganut tradisi matrilineal.[4] Menurut Gusti Asnan, pandangan politiknya yang dipengaruhi oleh minatnya yang besar terhadap Minangkabau menjadi dasar lahirnya ide untuk memprakarsai pendirian beberapa organisasi kemasyarakatan, sosial, dan budaya di Sumatera Barat.[12] Karena bertahan dengan pendiriannya menentang kebijakan ekonomi otoritas Jepang, Yano mengundurkan diri sebagai gubernur pada Maret 1944 dan digantikan oleh Hattori Naoaki pada bulan berikutnya.[14] Yano menilai, tentara pendudukan Jepang sangat menyadari sumber daya Indonesia yang berlimpah dan bertekad untuk terus mempertahankan kekuasaannya di Indonesia, sekalipun untuk itu Jepang terpaksa melepaskan Filipina dan Burma.[15]
"...Minangkabau di Sumatra, yang berada di bawah yurisdiksi saya..., tampaknya sebuah suku yang paling cerdas dan maju di bidang ekonomi di antara suku-suku yang ada; dan kepedulian politik mereka pun mengagumkan. Jadi, tidak mengherankan kalau mereka ini mempunyai keinginan yang kuat untuk mengakhiri 350 tahun penindasan Belanda, dan meraih kemerdekaan penuh. Yakin bahwa tentara pendudukan Jepang akan membantu tercapainya impian jangka panjang mereka, mereka mau bekerja sama. Tetapi, setelah pendudukan berlangsung selama dua tahun, tak kunjung ada perubahan."
— Yano Kenzo.[15]
Saat menjabat sebagai Gubernur Sumatera Barat, Yano mendirikan Kerukunan Minangkabau (Gui Gan) sebagai badan konsultasi dirinya dengan tokoh-tokoh Minangkabau.[4][b] Kerukunan Minangkabau mengadakan pertemuan secara teratur di kediaman gubernur. Anggota-anggotanya adalah representatif dari ulama, politisi, pemimpin adat, dan akademisi yang bertindak sebagai dewan penasihat informal bagi shu chokan.[4] Gusti Asnan menyebut Kerukunan Minangkabau sebagai Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) periode awal. Ketika Komando Tentara ke-25 mengeluarkan perintah pendirian shu sangikai atau DPR di setiap shu pada 8 November 1943, pemerintah sipil Sumatera Barat meneruskan Kerukunan Minangkabau yang telah ada sebagai shu sangikai dan Muhammad Sjafei ditunjuk sebagai ketua.

Dukungan Ulama pada saat penjajahan Jepang di Sumatra Barat

Menanggapi peralihan kekuasaan ke tampuk tentara Jepang, kelompok ulama Minangkabau menggagas berdirinya Majelis Islam Tinggi Minangkabau. Ahmad Husein mencatat, majelis ini didirikan sebagai wadah tempat para alim ulama bermusyawarah menghadapi politik pemerintahan Jepang. Didirikan pada 1942, organisasi ini memilih Sulaiman Ar-Rasuli sebagai ketua. Dengan tujuan untuk menghimpun semua kekuatan perjuangan umat Islam Minangkabau, MIT Minangkabau mendapat dukungan seluruh rakyat Minangkabau. Pimpinan organisasi keislaman pada masa itu seperti Perti dan Muhammadiyah bersama-sama bersatu dalam melawan politik Jepang.
Melalui kedekatannya dengan Jepang, Mahmud Yunus berupaya agar pendidikan agama Islam diajarkan di sekolah-sekolah pemerintah Sumatera Barat



Untuk mendapat penerimaan dari rakyat, Jepang berupaya mendekati kelompok ulama dan memberi mereka tempat dalam pengambilan kebijakan.[c] Ulama Minangkabau manfaatkan tawaran kerja sama dengan Jepang untuk menghimpun kekuatan perjuangan umat Islam Minangkabau melawan penjajah. Jepang memberi tempat bagi MIT Minangkabau dalam pengambilan kebijakan, di antaranya menunjuk Mahmud Yunus mewakili MIT Minangkabau sebagai penasihat residen.[17] Selain itu, beberapa anggota majelis diundang untuk menghadiri Muktamar Islam Asia Timur Raya di Singapura.[18]
Meskipun ikut menggairahkan semangat rakyat membantu Jepang, ulama Minangkabau pada saat bersamaan ikut menyuburkan tumbuhnya semangat nasionalisme Indonesia. Mereka memberikan dorongan kepada para pemuda untuk mengikuti pelatihan-pelatihan militer yang dianjurkan oleh Jepang. Bersama tokoh adat, mereka terlibat dalam proses perekrutan calon perwira Giyugun untuk meminimalkan pengaruh propaganda Jepang dan menggantinya dengan semangat nasionalisme. Sejarawan Gusti Asnan mencatat, keterlibatan mereka dalam penyeleksian perwiara adalah memilih calon yang telah berusia di atas 25 tahun hingga 30 tahun dan menyisipkan semangat cinta Tanah Air dalam mars Giyugun. "Mereka menginginkan agar calon yang akan diterima telah cukup dewasa dan bisa menghindari pengaruh negatif dari didikan militer Jepang."[19][20][21]
Akademisi Irhash A. Shamad menyebutkan, dukungan semu yang diberikan oleh para ulama Minangkabau pada masa pemerintahan Jepang telah membutakan mata Jepang dalam melihat apa yang ada dibalik dukungan ulama dalam pembentukan Giyugun. Tokoh-tokoh masyarakat bersama-sama berusaha agar kemerdekaan Indonesia dapat segera dicapai. Menurut Irhash, melawan secara terang-terangan kepada Jepang merupakan perhitungan yang keliru pada waktu itu sehingga para ulama memberikan motivasi kepada rakyat untuk melawan dengan diam-diam "sambil berlindung dibalik dukungan terhadap Perang Asia Timur Raya yang didengungkan oleh Jepang".[20]

Pendudukan Jepang di Sumatra Barat tahun 1942




Jepang memasuki Padang pada 17 Maret 1942. Sukarno yang pada saat itu berada di Padang berhasil meyakinkan sebagian besar tokoh-tokoh nasionalis di Sumatera Barat agar mau bekerja sama dengan Jepang.
Tahun 1943 Jepang memerintahkan pendirian Gyu Gun untuk membantu pertahanan. Gyu Gun di Sumatera Barat dipimpin oleh Chatib Sulaiman yang memilih dan merekrut calon perwira dari Sumatera Barat, Riau dan Jambi. Gyu Gun merupakan satu-satunya satuan ketentaraan yang dibentuk Jepang di Sumatera Barat. Tentara Sukarela ini kemudian menjadi inti Divisi Banteng.

Kedatangan Jepang

Jepang memulai invasinya di Sumatera pada Februari 1942 dengan menerjunkan unit-unit pasukan payung di Palembang. Menurut Audrey Kahin, Jepang bermaksud mendahului rencana Belanda yang akan merusakkan instalasi minyak di dekat Palembang. Dari Palembang, balatentara Jepang segera menyebar ke arah selatan dan utara Sumatera. Pada pertengahan Maret, pasukan dalam jumlah yang lebih besar mendarat di pantai utara dan timur Sumatera, lalu bergerak cepat ke selatan.[1]
Melalui Perjanjian Kalijati pada 8 Maret 1942, Belanda menyerahkan wilayah jajahan Indonesia kepada Jepang. Setelah pendudukan dimulai, Jepang membagi Indonesia dalam tiga wilayah pemerintahan militer. Wilayah Sumatera berada di bawah Departemen Pemerintahan Militer "Gunseibu" Tentara ke-25 di Singapura yang dipimpin Jenderal Moritake Tanabe. Namun, komandan militer Belanda di Sumatera A. I. Spits mendeklarasikan tentara Belanda di Sumatera akan terus berjuang hingga tetes darah terakhir.[2]
Masuknya Jepang ke Sumatera Barat hampir berbarengan dengan pergerakan mereka di berbagai daerah Sumatera lainnya. Tentara angkatan perang Jepang memasuki Kota Padang pada 17 Maret 1942. Dalam hitungan hari, seluruh Sumatera Barat dapat mereka kuasai dan komandan militer Belanda di Sumatera menyerah tanpa syarat kepada Jepang.[1]

Pemerintahan


Atap Jam Gadang mengikuti bentuk atap pagoda (tengah) sewaktu pendudukan Jepang.
Akademisi Audrey Kahin—yang meraih gelar doktor dalam ilmu sejarah Asia Tenggara dari Universitas Cornell[3]—mencatat, salah satu fokus tentara pendudukan Jepang selama tahun pertama pendudukan adalah memfungsikan aparatur pemerintahan di Sumatera sehingga dengan demikian mereka dapat memanfaatkan secara efisien sumber daya vital di Sumatera, terutama ladang minyak dekat Palembang dan perkebunan karet di Sumatera Timur. Jepang menghidupkan kembali sistem pemerintahan peninggalan Belanda dan mengangkat kembali sebagian besar mantan pejabat Indonesia yang pernah duduk di birokrasi sebelumnya.[1]
Sumatera dalam struktur pemerintahan pendudukan pada mulanya berada di bawah kekuasaan Angkatan Darat Divisi ke-25 yang berpusat di Singapura. Namun, Komando Tentara ke-25 berkesimpulan bahwa mereka tidak mungkin memerintah Sumatera dari markas besarnya di Singapura, terutama dalam usaha melindungi daerah di sekitar instalasi-instalasi vital. Pada 1 Mei 1943, markas besar Tentara ke-25 dipindahkan dari Singapura ke Bukittinggi dan Sumatera yang sebelumnya tergabung bersama Malaya dijadikan unit pemerintahan sendiri.[2] Jepang membagi Sumatera menjadi 10 shu (identik dengan daerah administratif residen pada zaman Belanda) yang masing-masing dikepalai oleh seorang shu chokan.
Keresidenan Sumatera Barat dibentuk pada Agustus 1942 dengan nama Sumatra Neishi Kaigun Shu. Keresidenan ini beribu kota di Padang. Mantan Gubernur Prefektur Toyama Yano Kenzo menjabat sebagai shu chokan pertama.[4] Sebagai pemimpin sipil untuk wilayah Sumatera Barat, Yano Kenzo tiba di Padang tanggal 9 Agustus 1942 bersama dengan 68 orang pegawai sipil.[5] Pembagian unit daerah administratif Sumatera Barat hampir sepenuhnya mengacu pada pembagian yang dilakukan oleh Belanda pada tahun 1935 yang terdiri dari 5 afdeelingen, 19 onderafdeelingen, 20 districten, dan 49 onderdistricten serta sedikitnya 430 nagari. Sejarawan Gusti Asnan mencatat, sedikit perbedaan dari pembagian unit daerah administratif oleh Jepang adalah dikeluarkannya Fuku Bun Bangkinang dan dimasukkannya daerah itu ke dalam Riau Shu.
Dalam menjalankan roda pemerintahannya di Sumatera Barat, Jepang tidak banyak melakukan perubahan struktur pemerintahan, kecuali perubahan nomenklatur ke dalam bahasa Jepang. Afdeeling yang dikepalai oleh asisten residen diganti dengan nama bun, dikepalai oleh seorang bun shu cho. Fuku bunshu dikepalai oleh seorang baku bun cho, menggantikan istilah onderafdeeling yang dikepalai oleh kontroler. District yang dikepalai oleh demang diubah menjadi gun yang dikepalai oleh seorang gun cho. Onderdistrict yang dikepalai oleh asisten demang diganti dengan istilah fuko gun, dikepalai oleh seorang fuko gun cho.[5]
Jepang masih menggunakan pegawai-pegawai pribumi yang sebelumnya bekerja dengan Belanda. Pejabat Bumiputra tertinggi mengepalai gun dan struktur di bawahnya, fuku gun. Unit pemerintahan yang terkecil yaitu nagari diberi istilah son dan kepala nagari dinamakan son cho.[5]

Penerimaan

Kedatangan tentara Jepang di Padang disambut oleh penduduk dengan melambaikan bendera Merah Putih dan bendera Hinomaru disertai teriakan "banzai". Sejarawan Gusti Asnan mencatat, mata-mata Jepang sebelumnya sudah menyebarkan pengaruh pada rakyat Minangkabau. Sebagian dari orang Jepang yang bermukin di Sumatera Barat sejak dekade 1920-an berperan sebagai intelijen Jepang "yang dikirm guna melapangkan jalan bagi okupasi mereka".[6] Rakyat telah diyakinkan bahwa kedatangan Jepang untuk membebaskan bangsa ini dari kekuasaan Imperialisme Barat. Jepang menyerukan semboyan Asia untuk bangsa Asia sebagai pembebas Asia dari kekuasaan imperialisme.

Masjid Raya Ganting, markas Hizbul Wathan di Padang. Soekarno sempat menginap di rumah Umar Marah yang berada dekat masjid dan berpidato di masjid.
Pada masa awal pendudukan Jepang, peristiwa yang terjadi di Padang banyak dipengaruhi oleh Soekarno. Soekarno tertahan di Sumatera Barat setelah pihak Belanda gagal membawanya ke Australia.[a] Soekarno menunjukan sikap kooperatif terhadap Jepang. Namun, tokoh-tokoh PNI ketika mengadakan rapat di kantor Bumiputra, Bukittinggi, terpecah dua ke dalam kelompok yang mendukung dan yang menolak untuk bekerja sama dengan Jepang. Anwar Sutan Saidi sebagai Kepala Bank Nasional dan organisasi-organisasi perdagangan memilih menghindari jalur politik dan bergerak di jalur ekonomi dalam rangka mengumpulkan dana dan senjata bagi perjuangan kemerdekaan. Tamimi Usman memimpin sekelompok orang yang mengikuti cara Syahrir yang non-kooperatif dan menggerakkan kegiatan-kegiatan bawah tanah. Adapun kelompok yang dipimpin oleh Chatib Sulaiman mengikuti jalur perjuangan.[9][10]
Dalam pidatonya di Padang, Soekarno menghimbau rakyat agar tidak mengadakan perlawanan terhadap tentara Jepang karena kekuatan yang ada tidak sebanding. Menurut Soekarno, bangsa Indonesia harus memanfaatkan Jepang untuk mencapai cita-cita mewujudkan kemerdekaan Indonesia. Melalui sikap kooperatifnya, Soekarno berhasil mencegah tindakan kasar tentara Jepang terhadap rakyat Sumatera Barat.[11] Soekarno membujuk sebagain besar tokoh-tokoh bangsa di Sumatera Barat untuk bekerjasama dengan Jepang. Ketika tentara Jepang melarang pengibaran bendera selain dari bendera Jepang, Soekarno memerintahkan orang-orang agar menurunkan bendera "sampai tiba saatnya kita dapat mengibarkan Sang Dwi-warna dengan bebas dari semua bentuk dominasi asing".[9] Soekarno bersama Hatta memandang kerja sama dengan Jepang sebagai cara terbaik dalam mencapai tujuan kemerdekaan Indonesia, "berlayar dalam satu kapal bersama orang Jepang sambil membawa barang dagangan ktia sendiri".[10]
Sejumlah tokoh di Sumatera Barat bergabung untuk mendukung Jepang. Soekarno ikut membentuk Komite Rakyat yang bertujuan untuk membantu Jepang di bidang keamanan dan makanan, mengurangi akses perang terhadap rakyat Sumatera Barat, mendirikan sekolah, dan memelihara semangat kemerdekaan. Chatib Suleiman bersama Leon Salim mempersatukan seluruh organisasi pemuda yang ada menjadi Pemuda Nippon Raya. Tetapi pihak Jepang curiga terhadap dukungan ini, dan setelah kepergian Soekarno mereka membubarkan Komite Rakyat dan Pemuda Nippon Raya. Para pemimpin kedua organisasi di tangkap pada tanggal 14 November 1942 dengan tuduhan berpura-pura bekerja sama dengan Jepang padahal menentang mereka. Namun, seminggu kemudian mereka di bebaskan

Kondisi Politik di Sumatra Barat tahun 1930 an

 

 

 Merebaknya partai-partai politik

Meskipun komunisme menjadi sangat populer pada dasawarsa 1920-an kaum agama yang tak setuju dengan ideologi baru itu pun tetap berkembang. Awal tahun 1920 berdiri PGAI (Persatuan Guru Agama Islam) dengan tujuan mengumpulkan ulama-ulama di Sumatera Barat. Atas prakarsa H. Abdullah Ahmad tahun 1924 berdirilah sekolah Normal Islam di Padang. Sekolah ini dimaksudkan sebagai sekolah lanjutan, lebih tinggi daripada Sumatera Thawalib yang merupakan sekolah rendah.
Setelah melawat ke Jawa tahun 1925 dan bertemu pemimpin-pemimpin Muhammadiyah di sana Haji Rasul turut mendirikan cabang Muhammadiyah. Pertama di Sungai Batang dan kemudian di Padang Panjang. Organisasi ini dengan cepat menjalar ke seluruh Sumatera Barat.
Muhammadiyah berperan penting dalam menentang pemberlakuan Ordonansi Guru di Sumatera Barat tahun 1928. Dengan ordonansi ini guru agama diwajibkan melapor kepada pemerintah sebelum mengajar. Peraturan ini dipandang mengancam kemerdekaan menyiarkan agama. Sebelumnya Muhammadiyah di Jawa sudah memutuskan meminta ordonansi ini dicabut. Pada tanggal 18 Agustus 1928 diadakanlah rapat umum yang kemudian memutuskan menolak pemberlakuan ordonansi guru.
Meskipun terlibat dalam penolakan Ordonansi Guru, berbeda dengan organisasi komunis seperti Sarikat Rakyat, pada umumnya Muhammadiyah menghindari kegiatan politik. Penumpasan gerakan komunis tahun 1927 menyebabkan banyak anggota Sarekat Rakyat atau simpatisannya berpaling ke Muhammadiyah mencari perlindungan. Para anggota yang lebih radikal ini tidak puas dan kemudian banyak yang keluar untuk aktif dalam Persatuan Sumatra Thawalib. Organisasi ini pada tahun 1930 menjelma menjadi partai politik bernama Persatuan Muslim Indonesia, disingkat Permi. Dengan asas Islam dan kebangsaan (nasionalisme) Permi dengan cepat menjadi partai politik terkuat di Sumatera Barat, dan menyebar ke Aceh, Tapanuli, Riau, Jambi dan Bengkulu. Partai ini menjadi wadah utama paham Islam modernis. Tokoh-tokoh Permi yang terkenal antara lain Rasuna Said, Iljas Jacub, Muchtar Lutfi dan Djalaluddin Thaib.
Partai lain yang juga penting adalah PSII cabang Sumatera Barat yang berdiri tahun 1928, dan PNI Baru. PSII Sumatera Barat seperti Permi sangat kuat sikap anti-penjajahannya. Namun tidak seperti Permi yang berakar dari perguruan agama tokoh-tokoh PSII umumnya berasal dari pemimpin adat.
Cabang PNI Baru di Bukittinggi diresmikan Hatta tak lama setelah kepulangannya dari Belanda tahun 1932. Sebelumnya cabang Padang Panjang sudah didirikan oleh Khatib Sulaiman.
PARI pimpinan Tan Malaka (didirikan di Bangkok 1929) punya pengaruh cukup besar, meskipun anggotanya sendiri tidak banyak. Pengaruh PARI terutama lewat tulisan Tan Malaka yang disebarkan sampai tahun 1936.

Penumpasan

Pada pertengahan 1933 pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan larangan berkumpul. Yang menjadi sasaran utama di Sumatera Barat adalah Permi dan PSII. Sementara itu Rasuna Said sudah ditangkap oleh Belanda dan dibuang ke Jawa. Tokoh-tokoh Permi dan PSII awalnya dilarang bepergian, kemudian kedua partai dikenai larangan terbatas dalam mengadakan rapat umum. Pada akhirnya tokoh-tokoh Permi dan PSII ditangkap dan dibuang ke Digul. Permi akhirnya bubar pada 18 Oktober 1937.
Pada saat yang sama di Batavia tokoh-tokoh Partindo dan PNI Baru juga ditangkap. Sukarno diasingkan ke Flores, Hatta dan Sjahrir ke Digul. Pimpinan PNI Baru cabang Sumatera Barat sendiri dibiarkan bebas karena mereka membatasi kegiatan politik partai. Sementara itu tokoh-tokoh PARI berhasil ditahan Belanda yang bekerja sama dengan dinas Intelijen Inggris. Tan Malaka, pimpinannya, lolos.

Gerakan Partai Komunis di Sumatra Barat



Djamaluddin Tamin sudah bergabung dengan PKI pada 1922. Dalam perjalanan singkat ke Aceh dan Jawa pada tahun 1923 Datuk Batuah bertemu dengan Natar Zainuddin dan Haji Misbach. Agaknya ia terkesan dengan pendapat Haji Misbach yang menyatakan komunisme sesuai dengan Islam. Bersama Djamaluddin Tamin ia menyebarkan pandangan ini dalam koran Pemandangan Islam. Natar Zainuddin kemudian kembali dari Aceh dan menerbitkan koran sendiri bernama Djago-djago. Akhir tahun itu juga Djamaluddin Tamin, Natar Zainuddin dan Dt. Batuah ditangkap Belanda.
Setelah penangkapan tersebut pergerakan komunis malah menjadi-jadi. Tahun 1924 Sekolah Rakyat didirikan di Padang Panjang, meniru model sekolah Tan Malaka di Semarang. Organisasi pemuda Sarikat Rakyat, Barisan Muda, menyebar ke seluruh Sumatera Barat. Dua pusat gerakan komunis lain adalah Silungkang dan Padang. Bila di Padang Panjang gerakan berakar dari sekolah-sekolah di Silungkang pendukung komunis berasal dari kalangan saudagar dan buruh tambang.
Sulaiman Labai, seorang saudagar, mendirikan cabang Sarekat Islam di Silungkang, Sawahlunto pada 1915. Pada tahun 1924 cabang ini diubah menjadi Sarekat Rakyat. Selain itu berdiri juga cabang organisasi pemuda komunis, IPO.
Di Padang basis PKI berasal dari saudagar besar pribumi. Salah satu pendiri PKI cabang Padang adalah Sutan Said Ali, yang sebelumnya menjadi pengurus Sarikat Usaha Padang. Di bawah kepemimpinannya mulai tahun 1923 PKI seksi padang meningkat anggotanya dari hanya 20 orang menjadi 200 orang pada akhir 1925.
Pertumbuhan gerakan komunisme terhenti setelah pemberontakan di Silungkang 1927. Para aktivis komunis ditangkap, baik yang terlibat pemberontakan ataupun tidak. Banyak di antaranya yang dibuang ke Digul.

Perang Padri di Sumatra Barat



Perang Paderi meletus di Minangkabau antara sejak tahun 1821 hingga 1837. Kaum Paderi dipimpin Tuanku Imam Bonjol melawan penjajah Hindia Belanda.
Gerakan Paderi menentang perbuatan-perbuatan yang marak waktu itu di masyarakat Minang, seperti perjudian, penyabungan ayam, penggunaan madat (opium), minuman keras, tembakau, sirih, juga aspek hukum adat matriarkat mengenai warisan dan umumnya pelaksanaan longgar kewajiban ritual formal agama Islam.
Perang ini dipicu oleh perpecahan antara kaum Paderi pimpinan Datuk Bandaro dan Kaum Adat pimpinan Datuk Sati. Pihak Belanda kemudian membantu kaum adat menindas kaum Padri. Datuk Bandaro kemudian diganti Tuanku Imam Bonjol.
Perang melawan Belanda baru berhenti tahun 1838 setelah seluruh bumi Minang ditawan oleh Belanda dan setahun sebelumnya, 1837, Imam Bonjol ditangkap.
Meskipun secara resmi Perang Paderi berakhir pada tahun kejatuhan benteng Bonjol, tetapi benteng terakhir Paderi, Dalu-Dalu, di bawah pimpinan Tuanku Tambusai, barulah jatuh pada tahun 1838.

Masuknya Bangsa Eropa ke Sumatra Barat



 Pengaruh politik dan ekonomi A­ceh yang demikian dominan membuat warga Sumatera Barat tidak senang kepada Aceh. Rasa ketidak­puasan ini akhirnya diungkapkan de­ngan menerima kedatangan orang Belanda. Namun kehadiran Belanda ini juga membuka lembaran baru sejarah Sumatera Barat. Kedatangan Belanda ke daerah ini menjadikan Sumatera Ba­rat memasuki era kolonialisme dalam arti yang sesungguhnya.
Orang Barat pertama yang datang ke Sumatera Barat adalah seorang pelan­cong berkebangsaan Perancis yang ber­nama Jean Parmentier yang datang sekitar tahun 1529. Namun bangsa Ba­rat yang pertama datang dengan tu­juan ekonomis dan politis adalah bang­sa Belanda. Armada-armada dagang Belanda telah mulai kelihatan di pan­tai barat Sumatera Barat sejak tahun 1595-1598, di samping bangsa Belan­da, bangsa Eropa lainnya yang datang ke Sumatera Barat pada waktu itu ju­ga terdiri dari bangsa Portugis dan Inggris.

Kerajaan - Kerajaan di Minang Kabau



Menurut tambo Minangkabau, pada periode abad ke-1 hingga abad ke-16, banyak berdiri kerajaan-kerajaan kecil di selingkaran Sumatera Barat. Kerajaan-kerajaan itu antara lain Kesultanan Kuntu, Kerajaan Kandis, Kerajaan Siguntur, Kerajaan Pasumayan Koto Batu, Bukit Batu Patah, Kerajaan Sungai Pagu, Kerajaan Inderapura, Kerajaan Jambu Lipo, Kerajaan Taraguang, Kerajaan Dusun Tuo, Kerajaan Bungo Setangkai, Kerajaan Talu, Kerajaan Kinali, Kerajaan Parit Batu, Kerajaan Pulau Punjung dan Kerajaan Pagaruyung. Kerajaan-kerajaan ini tidak pernah berumur panjang, dan biasanya berada dibawah pengaruh kerajaan-kerajaan besar, Malayu dan Pagaruyung.

Kerajaan Malayu

Kerajaan Malayu diperkirakan pernah muncul pada tahun 645 yang diperkirakan terletak di hulu sungai Batang Hari. Berdasarkan Prasasti Kedukan Bukit, kerajaan ini ditaklukan oleh Sriwijaya pada tahun 682. Dan kemudian tahun 1183 muncul lagi berdasarkan Prasasti Grahi di Kamboja, dan kemudian Negarakertagama dan Pararaton mencatat adanya Kerajaan Malayu yang beribukota di Dharmasraya. Sehingga muncullah Ekspedisi Pamalayu pada tahun 1275-1293 di bawah pimpinan Kebo Anabrang dari Kerajaan Singasari. Dan setelah penyerahan Arca Amonghapasa yang dipahatkan di Prasasti Padang Roco, tim Ekpedisi Pamalayu kembali ke Jawa dengan membawa serta dua putri Raja Dharmasraya yaitu Dara Petak dan Dara Jingga. Dara Petak dinikahkan oleh Raden Wijaya raja Majapahit pewaris kerajaan Singasari, sedangkan Dara Jingga dengan Adwaya Brahman. Dari kedua putri ini lahirlah Jayanagara, yang menjadi raja kedua Majapahit dan Adityawarman kemudian hari menjadi raja Pagaruyung.

Kerajaan Pagaruyung

Sejarah propinsi Sumatera Barat menjadi lebih terbuka sejak masa pemerintahan Adityawarman. Ra­ja ini cukup banyak meninggalkan prasasti mengenai dirinya, walaupun dia tidak pernah mengatakan dirinya sebagai Raja Minangkabau. Aditya­warman memang pernah memerintah di Pagaruyung, suatu negeri yang di­percayai warga Minangkabau sebagai pusat kerajaannya.
Adityawarman adalah tokoh pen­ting dalam sejarah Minangkabau. Di samping memperkenalkan sistem pe­merintahan dalam bentuk kerajaan, dia juga membawa suatu sumbangan yang besar bagi alam Minangkabau. Kon­tribusinya yang cukup penting itu adalah penyebaran agama Buddha. Agama ini pernah punya pengaruh yang cukup kuat di Minangkabau. Ter­bukti dari nama beberapa nagari di Sumatera Barat dewasa ini yang berbau Budaya atau Jawa seperti Saruaso, Pa­riangan, Padang Barhalo, Candi, Bia­ro, Sumpur, dan Selo.
Sejarah Sumatera Barat sepe­ninggal Adityawarman hingga perte­ngahan abad ke-17 terlihat semakin kompleks. Pada masa ini hubungan Su­matera Barat dengan dunia luar, ter­utama Aceh semakin intensif. Sumate­ra Barat waktu itu berada dalam dominasi politik Aceh yang juga memo­nopoli kegiatan perekonomian di dae­rah ini. Seiring dengan semakin inten­sifnya hubungan tersebut, suatu nilai baru mulai dimasukkan ke Sumatera Barat. Nilai baru itu akhimya menjadi suatu fundamen yang begitu kukuh melandasi kehidupan sosial-budaya masyarakat Sumatera Barat. Nilai baru tersebut adalah agama Islam.
Syekh Burhanuddin dianggap sebagai pe­nyebar pertama Islam di Sumatera Barat. Sebelum mengembangkan aga­ma Islam di Sumatera Barat, ulama ini pernah menuntut ilmu di Aceh.

Kerajaan Inderapura

Jauh sebelum Kerajaan Pagaruyung berdiri, di bagian selatan Sumatera Barat sudah berdiri kerajaan Inderapura yang berpusat di Inderapura (kecamatan Pancung Soal, Pesisir Selatan sekarang ini) sekitar awal abad 12. Setelah munculnya Kerajaan Pagaruyung, Inderapura pun bersama Kerajaan Sungai Pagu akhirnya menjadi vazal kerajan Pagaruyung.
Setelah Indonesia merdeka sebagian besar wilayah Inderapura dimasukkan kedalam bagian wilayah provinsi Sumatera Barat dan sebagian ke wilayah Provinsi Bengkulu yaitu kabupaten Pesisir Selatan sekarang ini.

Sumatra Barat Masa Prasejarah




Di pelosok desa Mahat, Suliki Gunung Mas, Kabupaten Lima Puluh Kota banyak ditemukan peninggalan kebudayaan megalitikum. Bukti arkeologis yang dite­mukan di atas bisa memberi indikasi bahwa daerah Lima Puluh Kota dan sekitarnya merupakan daerah pertama yang dihuni oleh nenek moyang orang Minangkabau. Penafsiran ini ber­alasan, karena dari luhak Lima Puluh Kota ini mengalir beberapa sungai besar yang bermuara di pantai timur pu­lau Sumatera. Sungai-sungai ini dapat dilayari dan memang menjadi sarana transportasi yang penting dari zaman dahulu hingga akhir abad yang lalu.
Nenek moyang orang Minang­kabau diduga datang melalui rute ini. Mereka berlayar dari daratan Asia (In­dochina) mengarungi Laut Cina Sela­tan, menyeberangi Selat Malaka dan kemudian melayari sungai Kampar, sungai Siak, dan sungai Inderagiri. Setelah melakukan perjalanan panjang, mereka tinggal dan mengembangkan kebudayaan serta per­adaban di wilayah Luhak Nan Tigo (Lima Puluh Kota, Agam, Tanah Datar) sekarang.
Percampuran dengan para penda­tang pada masa-masa berikutnya me­nyebabkan tingkat kebudayaan mere­ka jadi berubah dan jumlah mereka ja­di bertambah. Lokasi pemukiman mereka menjadi semakin sempit dan akhirnya mereka merantau ke berba­gai bagian Sumatera Barat yang lainnya. Sebagian pergi ke utara, menuju Lubuk Sikaping, Rao, dan Ophir. Sebagian lain pergi ke arah selatan menuju Solok, Sijunjung dan Dharmasraya. Banyak pula di antara me­reka yang menyebar ke bagian barat, teruta­ma ke daerah pesisir, seperti Tiku, Pariaman, dan Painan.

Rindu Sungai Jambu ?

http//sungaijambu.blogspot.com
Kampung Sungai Jambu dengan berbagai Pesona keindahannya membuat kita akan merasa kangen menyambangi Perkampungan yang berada persis di bawah lereng Gunung Merapi ini, Rumah gadang yang berwarna warni ini melengkapi rasa cinta pada Sungai jambu. Selamat libur panjang Saudaraku

Anda suka makan Rendang Padang ? silahkan mencobanya

Rendang Padang merupakan salah satu makanan has asli Indonesia yang sudah mendunia
Sajian asli dari Sumatera Barat ini pernah disebut sebagai salah satu makanan terlezat di dunia versi sebuah TV station dunia tahun 2011 silam. Karena kelezatannya, tak heran jika salah satu negara tetangga mengklaim rendang sebagai masakan tradisional mereka. Rendang padang memiliki berbagai macam jenis berdasarkan bahan baku utamanya. Ada resep rendang daging, telur, belut, itik/bebek, bahkan jengkol atau yang biasa disebut jariang oleh masyarakat Minang.
Kebanyakan orang malas memasak rendang padang karena membayangkan prosesnya yang rumit. Padahal proses rumit tersebut sangat sepadan dengan hasilnya. Jika diolah hingga benar-benar kering, lalu dikemas dalam wadah kedap udara dan disimpan dalam freezer, rendang padang bisa bertahan hingga berbulan-bulan. Anda bisa mengolahnya dalam jumlah agak banyak, dan menghangatkan sedikit demi sedikit saat ingin makan berlauk rendang. Berikut ini kami sajikan resep rendang daging asli padang yang bisa anda coba.

Resep Rendang Padang
 

Waktu persiapan
Waktu memasak
Waktu total
 

Bahan-bahan
Bahan:
  • 500 gram daging sapi, potong menjadi 10
  • 600 ml santan kental, dari 1.5 butir kelapa
  • 300 gram baby potato
  • 5 sdm minyak goreng
  • 300 ml air
Bumbu halus:
  • 10 buah cabai merah iris
  • 6 butir bawah merah
  • 3 siung bawah putih
  • 3 cm kunyit
  • 3 cm jahe
  • 3 cm lengkuas
  • 1 sdm garam
Bumbu lainnya:
  • 1 lembar daun kunyit
  • 1 batang serai
  • 2 butir asam kandis
Cara membuat
  1. Tumis bumbu hingga harum, masukkan daging, aduk hingga berubah warna. Masukkan daun kunyit, serai, dan asam kandis. Aduk perlahan.
  2. Tuangkan air dan masukkan baby potato. Masak hingga air menyusut. Aduk perlahan sesekali.
  3. Masukkan santan, masak dengan api sedang. Biarkan hingga daging empuk, kuah kering, dan berminyak. Angkat, sajikan.

Mudah bukan membuat resep rendang daging? Jika ingin lebih praktis, anda bisa menggunakan bumbu rendang giling segar yang dijual di pasar tradisional untuk memasak rendang daging ini. Bumbu giling segar akan menghasilkan masakan yang lebih lezat jika dibandingkan bumbu instan. Selamat mencoba resep rendang padang

http//sungaijambu.blogspot.com

Suasana pagi di jalan Pariangan ka arah Simabue





Sungai jambu Maimbau

Makin tadogak jo awak jo sungai jambu, Tingo piliah gulai mano nan suko, jan banyak2 mancotu beko naik pulo kolesterol beko......he...he....he.....

http//sungaijambu.blogspot.com



IDUL ADHA DAN PULANG BASAMO JORONG BULAN SARIAK JAMBA ULU ( JOBLU )

idul adha dan pulang basamo joblu